Pentingkah Informasi Gaya Kamera dalam Skenario?

Beberapa hari lalu, saya mendapat pertanyaan:

Saya mau nanya, penting ga sih nulis camera angle segala macem misalnya;
"PRANG! Kaca pecah, camera menyorot wajah pemain yang terkejut. Zoom In."

Ini pertanyaan menarik karena sebagai penulis skenario seringkali kita kehabisan kata-kata untuk menggambarkan imajinasi kita secara tertulis. Alhasil, kita menggunakan bahasa-bahasa teknis di dalam skenario kita. Berikut akan saya paparkan apa yang telah saya pelajari dari ilmu dan dari pengalaman.

Waktu kuliah dulu, saya diberitahu oleh dosen saya untuk tidak pernah menggunakan kata "kamera" dan istilah-istilah pergerakan kamera lainnya di dalam skenario. Menurutnya ini adalah intervensi penulis skenario terhadap kreativitas sutradara dalam berimajinasi dan menciptakan shot. Ada pula dosen yang menyarankan untuk mengganti kata "kamera' dengan kata "pandangan". Namun seiring berjalannya waktu, saya memiliki pendapat lain:

Hanya jika pergerakan atau posisi kamera tersebut demikian PENTING untuk dimasukkan ke dalam skenario dan dimengerti oleh sutradara anda bisa memasukkannya. Jika tidak terlalu penting, anda tidak perlu memasukkannya.

Misalnya, saya bermaksud membuat scene long take (satu shot panjang tanpa putus) seorang pejalan kaki di jalan raya. Karena menurut saya elemen long take ini adalah krusial, pada awal skenario saya sudah menuliskan kamera mengikuti pemain ke mana pun ia pergi (dan ditulis dalam huruf kapital). Dengan menuliskan ini, saya memiliki tanggung jawab untuk memberikan alasan kepada sutradara mengapa elemen long take tersebut krusial. Misalnya alasan saya adalah, "judul filmnya aja Long Take, kalo diambilnya nggak long take ya percuma dong Pak Sut!" Ini misalnya lho.

Mari kita bahas contoh awal:

"PRANG! Kaca pecah, camera menyorot wajah pemain yang terkejut. Zoom In."

Ada banyak cara untuk merealisasikan "wajah pemain yang terkejut", dan kamera menyorot plus zoom in termasuk salah satu cara yang sangat biasa dan bisa dianggap klise oleh sutradara yang biasa berimajinasi. Mungkin saja seorang sutradara ingin membuat dua shot, di mana yang satu adalah Medium Shot pemain, cut to Close Up wajah pemain. Atau ia ingin mengambil detil pergerakan tangan atau kaki atau rambut dari pemain. Bisa saja sutradara lebih memilih track in ketimbang zoom in. Belum lagi jika ia memutuskan untuk menggunakan handheld. Jadi ada banyak gaya dan imajinasi yang mungkin tak terpikirkan oleh anda.

Intinya, jangan batasi kreativitas sutradara untuk memilah shot dengan mematok posisi dan pergerakan kamera. Pilih sutradara yang kompeten, berikan ia ruang, dan percayakan scene-scene anda padanya. Jika anda sebagai penulis skenario juga bertindak sebagai sutradara, menurut saya anda bebas memasukkan style kamera yang anda inginkan, walaupun sebenarnya informasi type of shot, angle, lensa, dan camera movement, sudah memiliki tempat tersendiri di dalam director's shot.

Jika sudah sering bekerja sama, seorang produser juga dapat memperkirakan apa saja alat yang akan digunakan oleh sutradara dalam sebuah scene tanpa penulis skenario harus menulis informasi kamera.

Semoga bermanfaat.

Menculik Miyabi: Tema Tanpa Tanggung Jawab

Seringkali saya menitip pesan dalam artikel-artikel yang saya buat kepada para penulis skenario Indonesia bahkan dengan bahasa non-indonesia agar lebih yakin seperti be responsible this, be responsible that, dan ternyata saya menemukan kasus kontroversi seorang penulis skenario yang telah memiliki peluang untuk menulis skenario layar lebar (sekaligus bermain di dalamnya) dan memanfaatkannya untuk mendatangkan pemain bintang porno dari Jepang.

Ya, penulis blog idecerita dengan ini menyatakan diri kontra "Menculik Miyabi", bahkan sebelum film itu dibuat. Saya tak peduli dengan Miyabi, silakan datang ke Indonesia dengan atau tanpa busana, silakan nikmati pemandangan dan pantai di sini serta keramahan orang-orang Indonesia, silakan bermain dalam seratus atau seribu film Indonesia, lagi-lagi dengan atau tanpa busana, saya tak peduli. Tapi saya akan menyerang orang yang membuat skenario "Menculik Miyabi" dan film-film lainnya yang akan menggunakan cara sama untuk mencari sensasi sekaligus keuntungan, karena saya peduli, karena saya yakin penulis skenario film itu (baik sendiri atau tim) kurang atau bahkan tidak disiplin dalam hal tanggung jawab. Inti dari blog ini bukan berbagi ilmu untuk bisa menulis, tetapi berbagi ilmu untuk bisa menulis dengan tanggung jawab.

Sebelum memulai, saya punya beberapa pertanyaan yang mungkin anda bisa jawab untuk membantu saya mencerahkan kepala saya dari pikiran buruk terhadap penulis skenario "Menculik Miyabi":
1. Apakah tema dari "Menculik Miyabi" adalah "seseorang atau lebih yang menculik bintang porno karena suatu alasan"?
2. Jika jawaban nomor satu adalah tidak, lalu apa kira-kira temanya?
3. Jika jawaban nomor satu adalah ya, mengapa tema tersebut diangkat?
4. Apa kira-kira pesan moralnya? Jika tidak ada "moral"-nya, maka apa kira-kira "pesan"-nya? Jika tidak ada "pesan", apa untungnya bagi penonton? Apa untungnya bagi masyarakat?

Jika tujuannya adalah membangun citra perfilman Indonesia di mata dunia dan hal ini terbukti benar, maka saya akan berhenti menulis blog ini dan membuat blog tentang tips menulis skenario dengan bintang film porno.

Diketahui bahwa Maxima Pictures memang hobi membuat film sensasional, seperti "Kutunggu Jandamu" dan "Tali Pocong Perawan". Tapi membuat sensasi dengan mendatangkan artis porno? Tolonglah. Tolong peka sedikit dengan kondisi perfilman di Indonesia yang sedang berkembang dan klasifikasi penonton (Bawah Umur, Bimbingan Ortu, Dewasa, dll) yang masih sangat lemah. Tolong pikirkan manfaat dan mudaratnya.

Di luar sana banyak sekali bintang film porno dan di dalam sini banyak sekali production house yang haus akan keuntungan. Penulis skenario atau pencetus ide "Menculik Miyabi" telah membuka kesempatan untuk production house lain untuk meniru jejak "datangkan bintang film porno terkenal dan pakaikan ia baju! Yang penting kita sukses!" seandainya formula ini terbukti sukses. Sudahkah anda pikirkan ini? Sudahkah anda pikirkan mereka yang di bawah umur akan mencari tahu Miyabi melalui mesin pencari di internet? Akankah mereka menemukan manfaat di sana? Akankah pria dewasa menemukan manfaat dalam film anda? Bukankah bagi pria dewasa yang sudah akrab dengan pornografi lebih baik melihat Miyabi telanjang atau mengerjakan apa yang biasa ia kerjakan?

Mungkin saya terlalu berlebihan dalam memikirkan hal ini, tapi saya yakin masih banyak tema berguna yang bisa anda angkat sekaligus mendatangkan keuntungan. Hal ini pun sudah terbukti dari film-film berkualitas yang mampu mendatangkan jutaan penonton ke dalam bioskop. Masih banyak tema menarik yang bisa digunakan untuk mencari sensasi. Saya tidak akan bosan mengatakan ini: bertanggung jawablah terhadap skenario yang anda buat, karena efeknya dapat menjadi panjang dan dalam.

Jika film ini benar-benar dibuat, saya akan menontonnya sambil berharap omongan saya di atas salah, berharap bahwa memang ada makna positif dari sensasi kontroversial ini. Obyektif tetap menjadi nama tengah saya, namun entah mengapa saya merasa yakin saya tetap akan mengatakan penulisnya tidak becus dalam hal tanggung jawab setelah saya menonton film "Menculik Miyabi".

Biarkan koruptor diurus komisi pemberantas korupsi, biarkan teroris diurus densus 88 anti-teror, biarkan negara diurus pemerintah, biarkan dosa dan pahala diurus Tuhan. Tapi biarkan blog ini "mengurus" penulis skenario tak bertanggung jawab.

Silakan berikan komentar. Saya harap penulis skenario film "Menculik Miyabi" membaca artikel ini dan mau memberanikan diri untuk berkomentar untuk mencerahkan pikiran saya.

Membuat "Twist" Keren

Seperti yang telah saya janjikan, saya bermaksud membuat artikel tentang membuat twist yang keren, sekeren M. Night Shyamalan. Tanpa basa-basi, kita mulai.

Apakah anda mengira inti dari twist adalah ending, atau closure, atau resolusi yang tidak diduga-duga? Apakah menurut anda cukup dengan menekunkan pikiran pada akhir sebuah cerita yang anda miliki, anda akan mendapatkan twist yang tidak terpikirkan oleh orang? Jika anda berpikir demikian, maka anda sudah salah arah.

Inti dari twist bukanlah "ending tak terpikirkan", tetapi cerita yang dibangun untuk "mengalihkan perhatian" penonton. Dengan menggunakan cerita, dari awal anda sudah mengawal penonton menuju satu titik, sementara anda pergi menuju arah yang berlawanan. Mengerti?

Kita buat contoh. Misalnya anda memiliki sebuah cerita di mana tokoh utama harus memilih antara pergi ke Timur atau ke Barat. Setelah memperkenalkan tokoh, langsung anda sampaikan informasi bahwa tokoh ini memiliki pilihan. Lalu, dari seluruh adegan yang anda miliki dalam cerita anda, pilihlah adegan-adegan yang memuat informasi yang memiliki potensi untuk membawa penonton ke "barat". Tempatkan seluruh adegan tersebut di awal hingga tengah-tengah skenario anda, maka mereka akan pergi ke "barat" dengan tenang. Kemudian tempatkan adegan-adegan yang berpotensi memberi petunjuk bahwa anda sebenarnya menuju "timur" pada akhir babak pengembangan, yaitu setelah cerita mengalir lebih dari setengah jalan. Secara berkala, berikan petunjuk-petunjuk pada detil terkecil yang mampu anda pikirkan pada bagian ini. Pada titik ini, hanya penonton yang memperhatikan detil atau mengingat-ingat informasi yang telah mereka terima akan mengetahui bahwa anda sebenarnya menuju "timur", sementara yang lainnya masih terbuai di "barat". Akhirnya, letakkan informasi "saya sudah sampai di timur lho!" hanya pada klimaks, yaitu pada menit-menit terakhir sebelum cerita selesai. Tidak sulit bukan?

Jika dirangkum dalam film berdurasi 120 menit, pembagiannya kira-kira seperti ini:

0-5 menit kurang atau lebih : kenalkan karakter tokoh utama/masalah dalam film anda pada penonton.
5-10 menit kurang atau lebih: buat plot baru untuk mengalihkan perhatian penonton dari permasalahan tokoh utama.
10-80 menit kurang atau lebih: kembangkan cerita dengan plot baru, seakan-akan plot tersebut adalah plot utama milik tokoh anda. Sampaikan informasi yang "sebenarnya" sedikit saja pada tahap ini, misalnya dua hingga lima scene saja.
80-100 menit kurang atau lebih: informasikan permasalahan/tujuan utama tokoh yang "sebenarnya" dengan lebih kental.
100-110 menit kurang atau lebih: pastikan bahwa permasalahan "sebenarnya" sudah ditangkap oleh penonton.
110-120 menit kurang atau lebih: anti klimaks dan closure.

Jangan terbuai dengan ide yang anda pikir brilian yang anda dapatkan di awal pemikiran anda. Seringkali orang sudah girang dengan ide yang ia dapatkan, padahal ia baru saja berpikir sebentar. Percayalah, jika anda mendapatkan ide tersebut hanya dengan berpikir sebentar, maka ide tersebut tentu telah dipikirkan dan akan terpikirkan oleh jutaan orang lain, dengan berpikir sebentar pula. Banyak orang mengira ide "tokoh utamanya itu sebenarnya hantu lho! Udah mati dari taun jebot! Tapi penonton kagak ada yang tau!" itu sebagai ide yang brilian. Padahal ide briliannya terletak pada pendekatan anda, seperti halnya Sixth Sense (mengalihkan masalah Bruce Willis sebagai hantu dengan masalah baru, yaitu anak kecil dengan indra keenam) atau The Passenger, atau film-film hantu Jepang lainnya.

Kelas Menulis Skenario Film Bioskop dan FTV

Saya mendapat kabar dari www.skenario.org tentang adanya kelas menulis skenario. Kali ini pengajarnya adalah Armantono. Berikut informasi lengkapnya untuk anda yang ingin belajar menulis skenario:

Bagi yang berminat belajar film bioskop dan FTV adalah pilihan untuk mengambil kelas skenario ini. Dengan pengajar Armantono yang sukses menulis film-film box office seperti Heart, Love is Cinta, dan Virgin serta film-film bercita rasa seni tinggi seperti Opera Jawa, Rindu Kami PadaMu, Impian Kemarau, peserta akan diajarkan bagiamana menulis skenario yang baik sekaligus memahami karakteristik industri film dan televisi tanah air.

Armantono selama bertahun-tahun telah menjadi dosen tetap di IKJ. Bahkan saat ini, guru skenario dari penulis sukses Titien Wattimena ini menjabat sebagai wakil dekan bagian Akademik di institusi yang sama.

Jika mengambil kelas ini, di samping mendapatkan buku diktat yang disusun sendiri oleh Armantono yang tidak diperjualbelikan secara bebas, anda juga mendapat kesempatan untuk mengajukan cerita anda ke PH dengan bantuan Armantono. Tentunya jika cerita anda dianggap menarik dan "menjual".

Waktu Belajar : Setiap Sabtu pukul 13.30-15.30, mulai 24 Oktober 2009 selama 8 pertemuan.

Biaya Belajar : Rp. 2.284.900 (dapat diangsur 2 kali)
Diskon Rp. 200.000 (jika angsuran pertama dibayar sebelum 1 Oktober 2009)
Diskon Rp.100.000 (jika angsuran pertama dibayar 2-23 Oktober 2009)

Buruan daftar sekarang juga! Kuota partisipan sangat terbatas.


Informasi dan Pendaftaran :
Serunya Scriptwriting
Senin-Jumat Pkl 13.00 - 20.00 WIB
Sabtu pukul 13.00-18.00 WIB
STC Senayan lantai 4 No. 1002, Jakarta
021-97007900 / 081310033524
serunyaserunya@yahoo.com
www.skenario.org


Bagaimanapun juga beliau sudah berkecimpung di bidang penulisan skenario film cukup lama, dan dengan mengikuti program ini, saya pikir anda bisa memanfaatkan jaringan yang dimilikinya. Mana yang lebih mahal, ilmu atau jaringan? Apa jawaban anda?